NOBARTV NEWS – Gaza kembali menjadi sorotan dunia setelah pernyataan tajam dari pemimpin oposisi Israel, Yair Golan, yang mengkritik pemerintahnya atas kebijakan militer di wilayah tersebut. Dalam Konferensi Pers pada Selasa, 20 Mei 2025, Golan menyebut tindakan pemerintah sebagai “killing babies as a hobby,” merujuk pada dampak operasi Militer Israel yang menewaskan banyak warga sipil, termasuk anak-anak. Pernyataan ini memicu gelombang reaksi internasional, dengan Inggris, Prancis, dan Kanada mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam keras tindakan Israel sebagai pelanggaran Hukum internasional.
Latar Belakang Konflik dan Operasi Militer
Konflik di Gaza memasuki fase baru sejak Israel meluncurkan operasi militer bertajuk Operation Gideon’s Chariots pada 17 Mei 2025. Operasi ini melibatkan pasukan reguler dan cadangan Komando Selatan Israel, didukung serangan udara intensif. Menurut laporan Al Jazeera, serangan tersebut telah menewaskan sedikitnya 464 warga Palestina dalam seminggu, termasuk 144 orang dalam satu Hari di Khan Younis dan wilayah al-Mawasi. Infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsian, hancur akibat bombardir. Tiga rumah sakit utama di Gaza lumpuh minggu ini, memperparah krisis Kemanusiaan.
Pemerintah Israel, di bawah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menyatakan operasi ini bertujuan untuk “mengalahkan Hamas” dan membebaskan sandera. Namun, rencana untuk mengambil alih distribusi Bantuan Kemanusiaan di Gaza, yang diblokade sejak 2 Maret 2025, menuai kritik. Jan Egeland dari Norwegian Refugee Council menyebut rencana ini sebagai “militarisasi dan politisasi bantuan,” yang dapat memperburuk kelaparan di kalangan 2,3 juta warga Gaza.
Respons Internasional dan Tuduhan Pelanggaran Hukum
Pada 20 Mei 2025, Inggris, Prancis, dan Kanada mengeluarkan pernyataan bersama melalui akun X Perdana Menteri Inggris Keir Starmer (@Keir_Starmer), menyebut situasi di Gaza “tidak dapat ditoleransi” dan menuduh Israel melanggar hukum internasional. Mereka menyerukan penghentian segera operasi militer dan meminta akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan. “Pengumuman bahwa Israel akan mengizinkan sejumlah kecil makanan masuk ke Gaza sama sekali tidak memadai,” tegas pernyataan tersebut.
PBB, melalui juru bicara Farhan Haq, menyatakan Sekjen Antonio Guterres “terkejut” dengan rencana Israel yang dapat memperburuk Kematian warga sipil dan menghancurkan Gaza lebih lanjut. Laporan dari @UNReliefChief di X menegaskan bahwa 14.000 bayi di Gaza berisiko meninggal akibat kelaparan dalam 48 jam ke depan. Organisasi kemanusiaan melaporkan 93% anak di Gaza, sekitar 930.000 jiwa, terancam kelaparan ekstrem.
Ancaman Sanksi dan Ketegangan Global
Sebanyak 22 negara, termasuk anggota Uni Eropa, mendesak Israel untuk membuka akses bantuan, dengan ancaman “tindakan konkret” seperti sanksi Ekonomi dan diplomatik jika serangan berlanjut. Kepala diplomat UE, Kaja Kallas, mengindikasikan kemungkinan peninjauan perjanjian perdagangan dengan Israel. Reuters melaporkan bahwa langkah ini didukung mayoritas menteri Luar Negeri UE, mencerminkan meningkatnya tekanan internasional.
Namun, Israel tetap bersikukuh. Netanyahu menegaskan bahwa operasi di Gaza tidak akan berhenti hingga tujuan strategis tercapai, termasuk pengasingan pejuang Hamas dan demiliterisasi wilayah tersebut. Pernyataan ini menuai kritik dari dalam negeri, dengan Yair Lapid mempertanyakan mobilisasi puluhan ribu tentara cadangan tanpa tujuan jelas.
Analisis: Konteks Regional dan Implikasi Global
Krisis ini terjadi di tengah ketegangan regional yang kompleks. Menurut BBC, negosiasi di Doha untuk Gencatan Senjata tetap buntu, dengan Israel bersikeras memperpanjang tahap pertama kesepakatan hingga April 2026, sementara Hamas menuntut gencatan senjata permanen. Posisi AS, yang dikonsultasikan Israel sebelum serangan terbaru, tampak ambigu. Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt hanya menyebut konsultasi dilakukan, tanpa menjelaskan sikap resmi.
Di X, sentimen publik terpecah. Akun seperti @MiddleEastEye menyoroti Krisis Kemanusiaan, sementara @IsraelMFA membela operasi militer sebagai “kebutuhan Keamanan.” Ketegangan ini mencerminkan polarisasi global, dengan banyak pihak menyerukan intervensi internasional untuk menghentikan eskalasi.
Dampak Kemanusiaan dan Penutup
Blokade Israel sejak Maret 2025 telah memperburuk krisis pangan dan medis di Gaza. Menurut Gaza’s Ministry of Health, lebih dari 53.339 warga Palestina tewas dan 121.034 luka sejak Oktober 2023. Laporan CNN mengkonfirmasi bahwa hanya sembilan truk bantuan masuk pada 20 Mei, jauh di bawah kebutuhan harian 600 truk.
Gambar-gambar tragis dari Khan Younis, seperti yang dirilis oleh Israeli army via Reuters, menunjukkan kehancuran massal dan penderitaan warga sipil. Di tengah eskalasi ini, seruan untuk gencatan senjata semakin mendesak. Dunia kini Menanti apakah tekanan internasional dapat mengubah arah konflik atau justru memperdalam krisis kemanusiaan di Gaza.