NOBARTV NEWS– Uni Eropa (EU) mengancam akan memberlakukan sanksi terhadap Israel jika pemerintah Israel tidak menghentikan kebijakan yang disebut sebagai “kelaparan” di Gaza. Ancaman ini muncul menyusul Peringatan serupa dari Inggris, Prancis, dan Kanada, yang menuntut Israel menghentikan serangan militernya di Gaza serta mencabut pembatasan Bantuan Kemanusiaan.
Kabar ini pertama kali diunggah oleh akun X @Currentreport1 pada 19 Mei 2025 pukul 17:25 UTC, yang menyebutkan bahwa EU, bersama dengan Inggris, Prancis, dan Kanada, siap mengambil tindakan konkret jika Israel tidak mematuhi peringatan tersebut. Dalam unggahan tersebut, @Currentreport1 juga menyertakan bendera Uni Eropa dan gambar Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sebagai ilustrasi.
Menurut laporan dari The Guardian yang diterbitkan pada 19 Mei 2025, para pemimpin Inggris, Prancis, dan Kanada—yakni Keir Starmer, Emmanuel Macron, dan Mark Carney—mengeluarkan pernyataan bersama yang mengutuk operasi Militer Israel di Gaza sebagai “sangat tidak proporsional”. Mereka menyebut penderitaan kemanusiaan di Gaza telah mencapai tingkat yang “tidak dapat ditoleransi”. Peringatan ini datang setelah Israel dilaporkan menyetujui rencana pada 5 Mei 2025 untuk menduduki Gaza secara ilegal dan melanjutkan serangan terhadap warga sipil, termasuk rencana pemindahan massal warga ke selatan Gaza, yang melanggar Hukum internasional.
Parlemen Eropa juga telah mengajukan pertanyaan resmi (O-000015/2025) kepada Dewan EU, yang diajukan oleh sejumlah anggota parlemen seperti Lynn Boylan dan Kathleen Funchion dari kelompok The Left. Dalam dokumen tersebut, mereka mengecam respons EU terhadap Krisis Gaza sebagai “kegagalan moral yang memalukan” dan menyerukan sanksi terhadap Israel atas pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap warga Palestina.
Krisis Kemanusiaan di Gaza telah berlangsung lama, namun situasi memburuk drastis sejak Oktober 2023, setelah serangan Hamas yang memicu respons militer besar-besaran dari Israel. Laporan Amnesty International pada Desember 2024 menyebutkan bahwa Israel telah melakukan tindakan yang memenuhi kriteria Genosida terhadap warga Palestina di Gaza, termasuk pembatasan bantuan kemanusiaan yang menyebabkan kelaparan massal. Hingga Mei 2025, situasi semakin parah dengan blokade total selama 11 minggu, yang baru-baru ini sedikit terbuka dengan masuknya sembilan truk bantuan melalui penyeberangan Kerem Shalom. Namun, Tom Fletcher, kepala kemanusiaan PBB, menyebut bantuan tersebut sebagai “setetes air di lautan kebutuhan yang mendesak”.
Uni Eropa, bersama Inggris, Prancis, dan Kanada, menjadi sorotan karena tekanan mereka terhadap Israel menandakan perubahan sikap di kalangan negara-negara Barat, yang sebelumnya sering kali mendukung Israel. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dalam pernyataan pada 19 Mei 2025, menegaskan bahwa “bantuan kemanusiaan tidak boleh dipolitisasi”. Namun, di sisi lain, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, menentang keras masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan menyatakan bahwa Perdana Menteri Netanyahu membuat “kesalahan besar” dengan mengizinkan bantuan tersebut.
Reaksi publik terhadap ancaman sanksi ini beragam. Akun X @LDelsoll menulis, “Ini seharusnya sudah dilakukan sejak lama. Kelaparan bukan taktik, melainkan kejahatan perang. Sanksi dan embargo senjata harus segera diberlakukan, bukan sekadar peringatan.” Sementara itu, @politics_war berkomentar, “Akhirnya Barat menunjukkan sedikit keberanian, tapi apakah ini terlambat? Peringatan tidak akan mengisi perut anak-anak yang kelaparan. Bertindak sekarang atau berhenti berpura-pura peduli pada hak asasi manusia.” Namun, ada juga yang skeptis, seperti @steeper0t yang menyatakan, “EU tidak akan melakukan apa-apa. Dunia akan mengingat keterlibatan mereka dalam genosida.”
Ancaman sanksi ini juga relevan dengan tren global yang berkembang di mana negara-negara mulai lebih vokal menentang pelanggaran hukum internasional. Sebagai perbandingan, EU sebelumnya telah memberlakukan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina, sebuah langkah yang disebut oleh akun @polarblv sebagai preseden: “Mereka melakukannya pada Rusia, jadi mengapa tidak pada Israel?” Namun, lambatnya respons terhadap krisis Gaza memunculkan pertanyaan soal konsistensi Barat dalam menangani Pelanggaran HAM, terutama ketika melibatkan sekutu strategis seperti Israel.
Isu ini juga terkait dengan meningkatnya tekanan global terhadap genosida dan kejahatan perang. Laporan Amnesty International pada Desember 2024, yang menegaskan adanya Genosida Di Gaza, telah memicu desakan agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengambil tindakan lebih tegas. Sementara itu, krisis kemanusiaan di Gaza juga mencerminkan tantangan global dalam distribusi bantuan, di mana politisasi bantuan kemanusiaan menjadi isu yang terus berulang, seperti yang terlihat dalam Konflik di Yaman dan Sudan.
Ancaman sanksi dari Uni Eropa dan sekutunya menandai titik balik dalam hubungan diplomatik dengan Israel, namun efektivitasnya masih dipertanyakan. Dengan lebih dari 19.000 anak-anak menjadi korban, seperti yang disebutkan oleh jurnalis X @ghida_fakhry, dunia Menanti apakah langkah ini akan benar-benar mengubah situasi di Gaza atau hanya menjadi peringatan kosong.
- Postingan X @Currentreport1, 19 Mei 2025
- The Guardian, “UK, France and Canada threaten action if Israel’s offensive continues,” 19 Mei 2025
- Parlemen Eropa, “Question for oral answer O-000015/2025,” Mei 2025
- Amnesty International, “Israel is committing genocide against Palestinians in Gaza,” 5 Desember 2024