NOBARTV NEWS Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti, mengungkapkan rasa duka cita yang mendalam atas berpulangnya Faisal Basri, seorang ekonom senior dan kritikus pemerintahan yang terkenal. Faisal Basri meninggal dunia di Rumah Sakit Mayapada, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis, 4 September 2024, pukul 03.50 WIB, dalam usia 65 tahun.
Susi Pudjiastuti, melalui akun X-nya @susipudjiastuti, menuliskan, “Innalillahi wainnailahirojiun. Duka cita yang mendalam atas berpulangnya Bapak Faisal Basri; Salah satu putra bangsa terbaik, sahabat dalam berdiskusi, berintegritas, berani, dan jujur. Kehilangan yg sangat besar untuk kita semua. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik disisiNya. Diberikan kekuatan pada keluarga yang ditinggalkan.”
Faisal Basri dikenal sebagai seorang intelektual dan ekonom yang memiliki sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama terkait isu ekonomi dan kelautan. Semasa hidupnya, ia tak jarang mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, termasuk di sektor perikanan. Salah satu kritik terkenal Faisal Basri adalah terkait kebijakan ekspor benih lobster, yang menjadi perhatian utama dalam masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti.
Pada masa Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, kebijakan ekspor benih lobster dilarang melalui Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster. Kebijakan ini diambil untuk melindungi keberlanjutan populasi lobster di Indonesia, dengan larangan perdagangan lobster di bawah ukuran 200 gram dan telur lobster.
Namun, setelah Susi tidak lagi menjabat, pemerintah mulai membahas kemungkinan untuk membuka kembali ekspor benih lobster. Perubahan kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pengamat dan praktisi, termasuk Faisal Basri, yang terus mengingatkan potensi dampak negatif dari kebijakan tersebut.
Faisal Basri pernah menegaskan bahwa membuka kembali keran ekspor benih lobster dapat berdampak buruk pada lingkungan dan perdagangan. Ia berpendapat bahwa hal ini akan memberikan celah bagi praktik mafia untuk meraup keuntungan besar, mengingat harga beli benih lobster yang tinggi di pasar internasional. Menurutnya, harga benih lobster saat ini mencapai 5.000 yen per ekor, yang dapat memicu eksploitasi besar-besaran.
Dalam pandangan Faisal Basri, kebijakan ekspor benih lobster berpotensi merusak ekosistem laut Indonesia. Ia menilai, ekspor benih lobster akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada lingkungan laut dan telur-telur lobster yang rusak akibat aktivitas perdagangan. Kritik ini mencerminkan kepedulian Faisal Basri terhadap keberlanjutan sumber daya laut dan dampak jangka panjang terhadap ekosistem.
Pada Desember 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Edhy Prabowo, mengungkapkan kemungkinan pembukaan kembali ekspor benih lobster dengan kuota. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah budidaya lobster di tingkat petambak. Namun, kebijakan ini juga menuai berbagai tanggapan, baik dari kalangan akademisi maupun praktisi perikanan.
Di tahun 2024, peluang ekspor benih lobster kembali terbuka setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Peraturan ini mulai berlaku pada 18 Maret 2024.
Pasal 6 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa tujuan ekspor benih lobster terbatas pada pembudidayaan di luar wilayah Indonesia, dengan pengecualian untuk kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, dan/atau percontohan di dalam wilayah Indonesia.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari upaya pemerintah untuk mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan, sembari tetap mempertimbangkan aspek ekonomi dari industri budidaya lobster. Meski demikian, peraturan ini masih memicu perdebatan mengenai dampaknya terhadap ekosistem laut dan kemungkinan timbulnya praktik-praktik ilegal yang dapat merugikan.
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: