NOBARTV NEWS– Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan babak baru dalam Konflik berkepanjangan di Jalur Gaza. Melalui pernyataan resmi pada Senin pagi waktu setempat, Netanyahu menyampaikan bahwa Israel akan melancarkan operasi darat ekstensif di seluruh wilayah Gaza. Tujuan dari operasi ini diklaim sebagai upaya untuk mencegah militan Hamas mengintervensi distribusi Bantuan Kemanusiaan yang sangat dibutuhkan warga sipil.
Pernyataan itu pertama kali disorot publik melalui unggahan akun resmi Al Arabiya English di Platform X, yang mencatat bahwa operasi ini dimaksudkan sebagai “langkah taktis” untuk mengamankan jalur distribusi bantuan. Namun, di balik retorika pengamanan, banyak pihak mempertanyakan urgensi militerisasi penuh wilayah Gaza yang sudah terdampak krisis selama bertahun-tahun.
Ketegangan yang Terus Meningkat
Langkah Netanyahu ini tidak datang secara tiba-tiba. Sejak awal 2023, Militer Israel secara konsisten memperluas aktivitasnya di Gaza, termasuk peningkatan serangan udara dan pembatasan akses ke bantuan kemanusiaan. Laporan The New York Times tertanggal 5 Mei 2025 mencatat adanya sinyal dari pemerintah Israel mengenai kemungkinan eskalasi dalam bentuk “penguasaan darat” dan “pemindahan warga sipil dari utara ke selatan.”
Pengumuman terbaru ini tampaknya merupakan eksekusi langsung dari rencana tersebut. Netanyahu menegaskan bahwa pengambilalihan wilayah diperlukan untuk memastikan bantuan benar-benar sampai kepada warga sipil. Namun, narasi ini mendapat tanggapan keras dari berbagai pihak.
Di sisi lain, juru bicara Hamas menolak tuduhan bahwa kelompoknya telah menjarah bantuan. Dalam wawancara yang dikutip The Washington Post pada November 2024, juru bicara tersebut menyebutkan bahwa banyak insiden penjarahan justru terjadi di wilayah yang dikuasai oleh militer Israel, bahkan dengan dugaan pembiaran terhadap aksi kelompok bersenjata Lokal.
“Kami tidak mengintervensi bantuan yang masuk. Justru wilayah yang telah direbut Israel menjadi titik paling rawan terhadap kekacauan distribusi,” ujar juru bicara tersebut.
Realitas di Lapangan dan Respons Dunia
Kondisi kemanusiaan di Gaza telah lama berada dalam status darurat. Menurut Refugees International, per 31 Desember 2024, sebagian besar wilayah utara Gaza nyaris tidak lagi menerima bantuan akibat blokade dan operasi militer yang intens. Krisis ini menyebabkan lebih dari 2,2 juta penduduk menghadapi kelaparan akut. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan.
Seruan untuk Gencatan Senjata semakin kuat terdengar di panggung internasional. Dalam Sidang Umum PBB awal Mei 2025, lebih dari 120 negara menyerukan penghentian Operasi Militer Israel dan dibukanya akses kemanusiaan penuh ke seluruh Gaza.
Organisasi seperti UNICEF turut menyampaikan keprihatinannya melalui Media sosial. Dalam cuitan tertanggal 15 Mei 2025, akun resmi @UNICEF menuliskan:
“Anak-anak Gaza menderita dalam diam. Ribuan telah menjadi korban jiwa. Kami butuh akses yang aman untuk membawa bantuan, bukan operasi militer.”
Namun, alih-alih merespons seruan internasional, pemerintah Israel memilih jalur yang lebih agresif. Ribuan pasukan telah dikerahkan sejak pagi tadi ke berbagai zona di Gaza, termasuk daerah padat penduduk yang sebelumnya relatif aman. Pemindahan massal warga ke bagian selatan terus berlangsung, meskipun komunitas internasional menyuarakan kekhawatiran atas potensi pelanggaran Hukum humaniter internasional.
Dimensi Politik dan Strategi Jangka Panjang
Sejumlah analis Politik melihat langkah Netanyahu tidak hanya sebagai respons terhadap Hamas, tetapi juga sebagai bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan di dalam Negeri. Dr. Ayman Khalil, analis Timur Tengah dari Universitas Birzeit, menyampaikan bahwa langkah ini sarat nuansa politik domestik.
“Netanyahu sedang menghadapi tekanan politik dalam negerinya. Mengambil alih Gaza dapat memberikan narasi Kemenangan kepada pendukungnya, meskipun risikonya adalah memperburuk Krisis Kemanusiaan dan Reputasi Israel di mata dunia,” jelas Dr. Khalil.
Sementara itu, muncul pula keraguan tentang efektivitas strategi militer dalam menstabilkan Gaza. Sarah Al-Masri, jurnalis Palestina yang tinggal di Ramallah, menyampaikan pandangannya melalui media sosial:
“Jika yang dicari adalah stabilitas, maka pendekatan bersenjata tidak akan menyelesaikan masalah. Gaza butuh perdamaian, bukan lebih banyak tank.”
Tudingan bahwa Hamas memanfaatkan bantuan kemanusiaan untuk memperkuat posisi mereka juga menjadi sorotan. Laporan investigatif The Washington Post mencatat bahwa sejak Februari 2024, kekacauan dalam distribusi bantuan meningkat drastis setelah Polisi sipil Gaza yang mengawal konvoi bantuan menjadi target serangan militer Israel.
Hal ini menciptakan kekosongan Keamanan yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok kriminal, bukan oleh Hamas seperti yang sering dituduhkan. Namun, justifikasi inilah yang kini digunakan Israel untuk memperluas operasi militernya di seluruh wilayah Gaza.
Tabel Analisis Poin Penting Operasi Darat Israel di Gaza
Aspek Utama | Rincian Penting |
---|---|
Tanggal Pengumuman | 19 Mei 2025 |
Tujuan Operasi | Mengambil alih seluruh Gaza dan mengamankan distribusi bantuan |
Pernyataan Resmi | Disampaikan oleh PM Netanyahu melalui media dan diverifikasi akun @AlArabiya_Eng |
Respons Hamas | Membantah tuduhan penjarahan bantuan; menyalahkan pihak Israel |
Reaksi Internasional | PBB dan UNICEF serukan penghentian operasi; lebih dari 120 negara kecam langkah tersebut |
Kondisi Kemanusiaan | 2,2 juta warga Gaza hadapi kelaparan; bantuan nyaris tidak masuk ke Gaza utara |
Area Terdampak | Seluruh wilayah Gaza, termasuk utara dan pusat |
Isu Terkait | Dugaan pemindahan paksa warga, krisis hukum humaniter, dan manuver politik Netanyahu |
Analisis Pakar | Langkah militer dinilai berisiko tinggi dan kontraproduktif oleh sejumlah analis |
Apabila situasi ini terus berkembang tanpa solusi diplomatik yang adil dan berkelanjutan, maka risiko instabilitas regional akan semakin besar.
Dunia kini Menanti langkah komunitas internasional, termasuk lembaga-lembaga kemanusiaan dan negara-negara besar, untuk mendorong penyelesaian yang berpihak pada Hak Asasi Manusia dan masa depan damai di Gaza.