Timur Tengah

IDF Kekurangan Pasukan, Tentara Stres dan PTSD Dikirim Lagi ke Gaza

Krisis Mental di Militer Israel: Tentara dengan Riwayat Gangguan Jiwa Direkrut Kembali



NOBARTV NEWS – Sebuah laporan eksklusif dari Haaretz, media terkemuka Israel, mengungkap fakta mengejutkan bahwa Militer Israel (IDF) tengah merekrut kembali tentara yang sebelumnya diberhentikan karena masalah Kesehatan mental. Langkah ini diambil di tengah krisis komitmen tempur yang dialami Pasukan Israel, seperti yang dilaporkan pada Minggu (18/5/2025).

Dalam laporan tersebut, Haaretz mengutip pernyataan seorang komandan militer yang menyebutkan, “Karena kurangnya komitmen tempur dari para tentara kami, kami terpaksa merekrut orang-orang yang tidak berada dalam kondisi mental normal.

Informasi ini pertama kali diunggah oleh akun X @S2FUncensored pada pukul 06:25 UTC, disertai foto sekelompok tentara Israel yang tampak kelelahan dan tertekan, beberapa di antaranya mengenakan masker wajah, dengan latar belakang pagar pembatas bertulisan Ibrani.

Langkah IDF untuk merekrut kembali tentara dengan riwayat gangguan jiwa ini memicu Kontroversi dan kekhawatiran luas. Menurut laporan Haaretz pada Januari 2024, sebanyak 1.600 tentara Israel telah menderita gangguan stres pasca-Trauma (PTSD) sejak perang Gaza dimulai, sebagian besar akibat paparan langsung terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Departemen Kesehatan Mental IDF bahkan menyatakan kekhawatiran tentang kesulitan para reservis untuk kembali ke kehidupan sipil, dengan risiko merasa hidup “tidak bermakna.”

Krisis ini diperparah oleh laporan terbaru dari The New Yorker (14 Mei 2025), yang menyebutkan bahwa beberapa reservis menolak panggilan tugas di tengah Eskalasi Konflik di Gaza. Seorang komandan tempur cadangan mengungkapkan kepada Yediot Aharonot bahwa “seluruh kompi telah dibubarkan” karena kekurangan personel.

Keputusan IDF untuk merekrut kembali tentara dengan gangguan jiwa menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan efektivitas operasional. Dr. Rachel Cohen, seorang psikolog militer yang diwawancarai oleh Jewish Insider pada 2022, pernah memperingatkan bahwa tekanan militer dapat memperburuk kondisi mental prajurit muda. “Jika tentara dengan riwayat gangguan jiwa dipaksa kembali ke Medan tempur, ini bukan hanya risiko bagi mereka, tetapi juga bagi unit mereka dan misi secara keseluruhan,” ujarnya.

Langkah ini juga mencerminkan tekanan besar yang dihadapi IDF di tengah konflik yang berkepanjangan. Namun, seperti yang dikomentari oleh pengguna X @OwlMillenial34, “Ini seperti memberikan senjata lebih banyak kepada Ted Bundy atau Zodiac—keputusan yang sangat berbahaya.” Sementara itu, @Sensible_Hippy menambahkan, “Sulit mempertahankan pasukan yang diminta untuk melakukan tindakan ekstrem tanpa kehilangan kewarasan mereka.

Laporan ini memicu reaksi keras di Media sosial. @W77683Willy memprediksi bahwa situasi ini akan menjadi “bencana militer” bagi Israel, sementara @irirsmal07 bahkan menyerukan “invasi terhadap entitas Zionis.” Komentar-komentar ini menunjukkan polarisasi yang tajam dalam persepsi publik terhadap langkah IDF.

Di sisi lain, langkah ini juga bisa memiliki implikasi global. Menurut The New Yorker, militer AS sedang mempelajari Konflik Gaza sebagai “latihan” untuk konflik potensial dengan negara seperti China, termasuk bagaimana menangani krisis mental di kalangan pasukan.

Informasi dalam laporan ini telah diverifikasi melalui kutipan langsung dari Haaretz, Salah satu sumber berita terpercaya di Israel, serta didukung oleh laporan sebelumnya tentang Krisis Kesehatan mental di IDF. Data tambahan dari Jewish Insider (2022) dan The New Yorker (2025) memperkuat konteks krisis ini. Foto yang diunggah oleh @S2FUncensored juga konsisten dengan situasi yang digambarkan, menunjukkan tentara dalam kondisi yang tampak tertekan.

Keputusan IDF untuk merekrut kembali tentara dengan gangguan jiwa menyoroti tekanan besar yang dihadapi militer Israel di tengah konflik yang tak kunjung usai. Meski dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan personel, langkah ini menimbulkan risiko etis dan operasional yang signifikan. Dunia kini menyaksikan bagaimana keputusan ini akan memengaruhi dinamika konflik di Gaza—dan mungkin, stabilitas regional secara keseluruhan.

News Thumbnail