Dunia Internasional

Sebut Trump sebagai ‘Daddy’, Sekjen NATO Mark Rutte Picu Badai Kritik

Ucapan ‘Daddy’ untuk Trump, Sekjen NATO Rutte Diserang Kritik Jurnalis dan Diplomatik



NOBARTV NEWS – Dunia Diplomasi internasional kembali terguncang setelah Sekretaris Jenderal NATO yang baru, Mark Rutte, mengeluarkan Pernyataan Kontroversial dalam sebuah Konferensi Pers di Den Haag, Belanda, pada Selasa, 25 Juni 2025. Dalam penjelasannya mengenai peran Amerika Serikat di bawah Kepemimpinan Donald Trump, Rutte menyebut Trump sebagai “daddy”, sebuah istilah yang memantik gelombang kritik keras dari kalangan jurnalis, analis kebijakan, hingga pejabat tinggi Eropa Timur.

Pernyataan itu, yang disampaikan dalam konteks tekanan Trump agar sekutu NATO meningkatkan kontribusi militer mereka, telah membuka diskursus besar mengenai batas antara diplomasi strategis dan bentuk penghinaan terhadap kedaulatan Politik negara-negara anggota NATO.


Latar Belakang Pernyataan “Daddy”: Antara Satir, Metafora, atau Flattery Politik?

Dalam dialog terbuka pasca-KTT NATO, Rutte menggambarkan dinamika internal NATO seperti anak-anak yang saling bertengkar di halaman Sekolah, lalu berkata:

“Kadang-kadang, seperti dua anak yang saling mencakar, ayah—‘daddy’—harus turun tangan dan bicara dengan tegas.”

Frasa itu muncul tak lama setelah Trump, dalam Pidato tertutup kepada para delegasi NATO, menyebut Konflik Timur Tengah sebagai “pertengkaran anak-anak” dan menyarankan bahwa Eropa perlu “belajar menaati disiplin.”

Istilah “daddy” yang dilontarkan Rutte—meskipun mungkin dimaksudkan sebagai metafora—dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk pemujaan politik yang berlebihan, bahkan menjurus pada “penundukan martabat” diplomasi Eropa terhadap dominasi AS.

Dalam momen yang viral di berbagai platform Media sosial, seorang jurnalis wanita melontarkan pertanyaan tajam di hadapan Rutte:

“Apakah Anda harus memuji Trump sampai menyebutnya ‘daddy’ hanya untuk mendapatkan perhatiannya? Bukankah itu merendahkan Anda secara pribadi dan mempermalukan NATO secara institusional?”

Pertanyaan itu tidak dijawab secara langsung oleh Rutte, yang tampak gugup, namun ia kemudian menyampaikan pembelaan bahwa:

“Trump, seperti yang kita tahu, adalah pemimpin dengan pendekatan yang tegas. Ia memaksa kami semua untuk berbuat lebih dalam alokasi pertahanan. Dalam beberapa hal, saya pikir itu patut diapresiasi.”


Tak butuh waktu lama hingga kritik datang dari kawasan Eropa Timur. Gabrielius Landsbergis, mantan Menteri Luar Negeri Lithuania, menyebut pernyataan Rutte sebagai:

Salah satu episode paling memalukan dalam sejarah Modern hubungan transatlantik.”

Ia menambahkan bahwa pendekatan seperti ini akan mengikis kredibilitas NATO sebagai organisasi pertahanan yang egaliter dan berbasis konsensus, bukan subordinasi terhadap satu negara.


Media Amerika Ikut Memanaskan Suasana: White House Rilis Video “Daddy’s Home”

Respons dari Gedung Putih tak kalah mencengangkan. Tim kampanye Trump, yang tengah mempersiapkan debat besar Pilpres 2024, merilis video satir berjudul “Daddy’s Home” lengkap dengan latar lagu “Hey Daddy (Daddy’s Home)” dari Usher. Video ini memperlihatkan montage Trump dengan cuplikan Rutte menyebutnya ‘daddy’, seolah menandai kembalinya dominasi Trump dalam urusan global.

Media satir dan late-night shows di Amerika seperti Seth Meyers dan Stephen Colbert tak ketinggalan menanggapi. Mereka menyebut momen itu sebagai “softcore diplomacy” dan bahkan menyamakannya dengan adegan dari “Drama romantis kelas B”.


Terlepas dari Kontroversi tersebut, KTT NATO berhasil mencatat pencapaian penting. Untuk pertama kalinya dalam sejarah aliansi, 32 negara anggota sepakat menaikkan alokasi anggaran pertahanan kolektif menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), melampaui target tradisional sebesar 2%.

Analis dari Financial Times dan The Economist menilai bahwa retorika Trump, meskipun sering dianggap vulgar dan ofensif, nyatanya mampu menekan Eropa untuk menunjukkan komitmen yang lebih nyata terhadap pertahanan kolektif.

Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah hasil ini layak dicapai dengan Harga citra politik yang dipertaruhkan?


Pandangan Strategis: Diplomasi NATO Terjebak Dilema

Pakar Hubungan Internasional dari Brookings Institution, Dr. Elise van den Hoorn, menyatakan bahwa:

“NATO saat ini berada di antara dua kutub: menjaga soliditas internal melalui konsesi simbolik terhadap Trump, atau mempertahankan kedaulatan diplomatik dengan risiko perpecahan.”

Bagi banyak negara anggota, terutama yang lebih kecil di Eropa Timur, dominasi retorika AS—apalagi yang diwarnai simbol-simbol maskulin seperti “daddy”—bisa menjadi bentuk tekanan politik yang berbahaya di masa depan.


Tabel Ringkasan Fakta

AspekRincian
Pernyataan KontroversialMark Rutte menyebut Trump “daddy” dalam konferensi pers NATO
Reaksi PublikKritikan keras dari jurnalis dan media internasional
Respons DiplomatikLithuania menyebutnya memalukan; analis sebut kehilangan martabat
Reaksi Gedung PutihRilis video satir “Daddy’s Home” sebagai kampanye
Hasil KTT NATOKesepakatan 32 negara menaikkan anggaran militer hingga 5% PDB
Dampak StrategisDinilai berhasil secara taktis, namun berisiko secara citra jangka panjang

Insiden ini tidak hanya menjadi Perdebatan Publik mengenai gaya komunikasi seorang pemimpin, tetapi juga mencerminkan krisis identitas NATO di bawah tekanan realpolitik global. Antara menjaga hubungan dengan kekuatan utama seperti Amerika Serikat, dan melindungi Integritas kolektif Eropa, NATO menghadapi tantangan berat.

Apakah pujian Rutte hanya sekadar taktik sementara, atau cerminan perubahan Budaya diplomasi barat yang lebih pragmatis namun kehilangan wibawa?


News Thumbnail