NOBARTV NEWS Pada 27-28 Agustus 2024, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, dan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), Jake Sullivan, mengadakan pertemuan penting di Beijing.
Pertemuan ini terjadi di tengah ketegangan diplomatik yang meningkat antara kedua kekuatan utama global, dan melibatkan berbagai isu strategis termasuk Taiwan, proteksionisme, serta keamanan nasional.
Dalam pernyataannya, Wang Yi menegaskan posisi China yang menolak segala bentuk kemerdekaan Taiwan dan menekankan pentingnya reunifikasi.
“Taiwan adalah milik China dan China pasti akan bersatu kembali. ‘Kemerdekaan Taiwan’ adalah risiko terbesar bagi perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan,” ujar Wang Yi seperti dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri China.
Wang Yi juga menekankan bahwa “AS harus melaksanakan komitmennya untuk tidak mendukung kemerdekaan Taiwan, mematuhi prinsip satu China dan tiga komunike bersama China-AS, berhenti mempersenjatai Taiwan dan mendukung reunifikasi damai China.”
Dalam diskusi mengenai proteksionisme, Wang Yi mengkritik kebijakan ekonomi AS yang dianggapnya merugikan China. Ia menyebutkan bahwa AS harus menghentikan tindakan penindasan di bidang ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
“Menggunakan ‘kelebihan kapasitas’ sebagai alasan untuk melakukan proteksionisme hanya akan merugikan kebijakan ramah lingkungan secara global dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia,” tambah Wang Yi.
Ia menegaskan bahwa China akan tetap menjaga kedaulatan teritorial dan hak maritimnya di Laut Cina Selatan serta menjunjung tinggi Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) di wilayah tersebut.
Wang Yi juga memperingatkan agar AS tidak menggunakan perjanjian bilateral untuk melemahkan kedaulatan dan integritas wilayah China atau mendukung pelanggaran yang dilakukan Filipina.
Menurut Wang Yi, hubungan China-AS harus dipertahankan dengan lima cara utama untuk memastikan arah yang benar dalam hubungan bilateral.
Pertama, kedua kepala negara, Xi Jinping dan Joe Biden, harus memegang kendali atas hubungan ini. Kedua belah pihak diharapkan untuk menjunjung tinggi prinsip saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, serta kerja sama yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.
Kedua, China dan AS diharapkan mematuhi tiga komunike sebagai landasan politik dalam hubungan diplomatik mereka, menghormati kedaulatan dan integritas wilayah China, serta sistem politik dan jalur pembangunan China. Ketiga, kedua negara harus memperlakukan satu sama lain secara setara, menghindari posisi dominan dalam interaksi antar negara.
Keempat, Wang Yi menyerukan pembangunan jembatan komunikasi antar masyarakat dan menghindari penghalang yang menghambat opini publik yang sehat.
Kelima, ia menekankan perlunya membangun pemahaman yang benar satu sama lain. AS tidak boleh berspekulasi tentang China atau menganggap bahwa negara kuat akan mengupayakan hegemoni yang mirip dengan China.
Sullivan, dalam tanggapannya, mengakui adanya perbedaan dan persaingan antara AS dan China namun menekankan pentingnya kerja sama dalam berbagai bidang.
“Saya setuju bahwa satu sama lain harus diperlakukan setara dan persaingan harus sehat dan adil. AS tidak berniat melepaskan diri dari China, AS juga menganut kebijakan satu China dan tidak mendukung ‘kemerdekaan Taiwan’, dua China atau satu China, satu Taiwan'” kata Sullivan.
Ia menambahkan bahwa AS bersedia untuk terus menjaga komunikasi strategis dengan China, meningkatkan saling pengertian, dan mengurangi kesalahpahaman serta salah penilaian.
Pertemuan tersebut juga mencakup diskusi mengenai isu-isu global lainnya seperti Ukraina, Timur Tengah, dan Semenanjung Korea.
Wang Yi menegaskan bahwa China berkomitmen untuk mendorong perundingan damai dan solusi politik terhadap krisis Ukraina. Ia mengkritik AS yang menurutnya tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya terhadap China atau menerapkan sanksi ilegal sepihak.
Sullivan dan Wang Yi juga membahas kemungkinan kerja sama di bidang pengendalian narkoba, penegakan hukum, repatriasi imigran ilegal, dan respons terhadap perubahan iklim.
Kunjungan Sullivan ini merupakan kunjungan pertama penasihat keamanan nasional AS ke China dalam delapan tahun terakhir, dan dianggap sebagai langkah persiapan untuk pertemuan puncak antara Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping yang direncanakan akan datang.
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: