NOBARTV NEWS Pekan ini rupiah menutup catatan dengan hasil yang kurang menggembirakan, melemah sebesar 0,25% menjadi Rp16.285 per dolar AS pada Jumat (26/7).
Pelemahan ini tidak terjadi tanpa alasan. Berbagai sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri, berperan besar dalam pelemahan mata uang ini.
Faktor utama yang memicu ketidakstabilan pasar adalah pengunduran diri mendadak Presiden AS, Joe Biden, dari bursa pencalonan presiden 2024.
Langkah tak terduga ini mengejutkan pasar global dan menciptakan ketidakpastian mengenai arah kebijakan ekonomi AS di masa depan.
Para analis dan pelaku pasar kini dibuat bertanya-tanya tentang apakah pengganti Biden akan lebih baik dan bagaimana kebijakan ekonomi yang akan diambil selanjutnya.
“Mundurnya Biden meningkatkan volatilitas pasar,” ujar Hosianna Situmorang, Ekonom Bank Danamon seperti dikutip dari Bisnis, Sabtu (27/7/2024)
Ketidakpastian yang timbul dari keputusan ini diperparah oleh transisi kepemimpinan nasional di Indonesia, di mana Presiden Jokowi akan segera digantikan oleh Prabowo Subianto.
Transisi kepemimpinan ini menambah lapisan ketidakpastian bagi pasar yang sudah terombang-ambing oleh dinamika politik global.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, investor cenderung mencari aset yang lebih aman seperti dolar AS. Hal ini menyebabkan rupiah semakin tertekan.
“Ketidakpastian global dan domestik mendorong investor memilih aset aman, salah satunya dolar,” tambah Hosianna.
Perilaku investor ini menunjukkan bagaimana ketidakstabilan politik dapat langsung mempengaruhi pergerakan mata uang.
Selain itu, pelemahan rupiah juga dipicu oleh rilis data ekonomi AS yang bervariasi.
Pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2024 lebih tinggi dari perkiraan, mencapai 2,8%.
Namun, inflasi PCE yang melambat memberikan harapan bahwa The Fed mungkin akan melonggarkan kebijakan moneter mereka.
Data ini menciptakan dualitas sentimen di pasar, di satu sisi menunjukkan kekuatan ekonomi AS, namun di sisi lain menimbulkan harapan bahwa The Fed akan mengambil langkah untuk menurunkan suku bunga.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, melihat pelemahan rupiah sebagai respons terhadap sentimen risk-off global pasca pengumuman Biden.
“Tekanan terhadap rupiah berlanjut setelah rilis data PDB AS,” ujarnya. Pengumuman ini menambah beban bagi rupiah yang sudah tertekan oleh ketidakpastian politik dan ekonomi global.
Namun, ada secercah harapan di tengah situasi ini. Inflasi PCE yang sesuai dengan ekspektasi pasar memberikan sedikit angin segar bagi rupiah.
Para pelaku pasar kini berharap bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan mereka di bulan September mendatang.
Jika harapan ini terwujud, maka tekanan terhadap mata uang Garuda mungkin bisa berkurang.
Di tengah gejolak ini, pelaku pasar akan terus memantau perkembangan politik AS dan domestik, serta data ekonomi terbaru untuk mengukur arah pergerakan rupiah ke depan.
Bagaimana pasar merespons pengunduran diri Biden dan transisi kepemimpinan di Indonesia akan sangat menentukan.
Selain itu, keputusan The Fed mengenai suku bunga juga akan menjadi faktor kunci dalam menentukan nasib rupiah.*