NOBARTV NEWS – Ketegangan di Jalur Gaza kembali memanas setelah Israel meluncurkan fase pertama operasi militer bertajuk “Gideon’s Chariots” di wilayah utara Gaza. Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh Channel 12, seperti dikutip akun X @ME_Observer_ pada 16 Mei 2025 pukul 20:00 WIB.
Serangan udara skala besar yang berlangsung hingga malam Hari ini memunculkan pertanyaan: akankah Konflik meningkat dalam 24 hingga 48 jam ke depan?
Sementara itu, tim negosiasi Israel masih berada di Doha, Qatar, dalam upaya terakhir mencapai Gencatan Senjata sebelum potensi eskalasi lebih lanjut.
Apa yang Terjadi di Gaza Utara?
Berdasarkan laporan Channel 12 yang dikutip @ME_Observer_, operasi “Gideon’s Chariots” dimulai dengan serangan udara intensif di Gaza utara pada malam 16 Mei 2025.
Fase pertama operasi ini tampaknya menjadi bagian dari strategi Militer Israel untuk menekan kelompok Hamas, meskipun belum ada pernyataan resmi dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang merinci tujuan operasi tersebut.
Reuters pada 16 Mei 2025 melaporkan bahwa Serangan Udara Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina sejak Oktober 2023, dengan sepertiga di antaranya adalah anak-anak, menambah kekhawatiran akan dampak Kemanusiaan dari operasi ini.
Kapan dan Di Mana Operasi Ini Berlangsung?
Serangan ini berlangsung di Gaza utara, wilayah yang telah menjadi pusat konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas.
Menurut BBC pada 16 Mei 2025, Serangan Israel di Jabalia, Gaza utara, baru-baru ini menewaskan 29 anak-anak dan 15 perempuan dalam semalam.
Operasi “Gideon’s Chariots” yang dimulai pada 16 Mei malam tampaknya memperluas kehadiran militer Israel di wilayah tersebut, di tengah blokade ketat yang telah berlangsung selama 70 hari, sebagaimana dilaporkan BBC pada 11 Mei 2025.
Siapa yang Terlibat dan Apa Tujuannya?
Operasi ini dilakukan oleh militer Israel, dengan fokus pada Gaza utara, yang dikenal sebagai basis operasi Hamas.
Sementara itu, tim negosiasi Israel berada di Doha, Qatar, untuk melanjutkan mediasi dengan Hamas melalui perantaraan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat. Menurut laporan Reuters pada 14 Januari 2025, Hamas menuntut peta penarikan Pasukan Israel sebagai syarat gencatan senjata, sementara Israel bersikeras melanjutkan operasi militernya hingga Hamas dilumpuhkan.
Seorang pejabat PBB, sebagaimana dikutip BBC pada 16 Mei 2025, mengomentari situasi ini dengan nada prihatin: “Israel tidak hanya membunuh orang-orang, tetapi juga menghancurkan sisa kemanusiaan di Gaza.” Komentar ini mencerminkan kekhawatiran dunia internasional terhadap Eskalasi Konflik yang terus berlanjut.
Mengapa Operasi Ini Diluncurkan?
Operasi “Gideon’s Chariots” tampaknya merupakan bagian dari strategi Israel untuk meningkatkan tekanan militer terhadap Hamas, sekaligus menjawab desakan kelompok sayap kanan dalam pemerintahan Netanyahu yang mendukung pendudukan permanen di Gaza, sebagaimana dilaporkan Haaretz pada 15 Mei 2025.
Namun, langkah ini juga berlangsung di tengah upaya Diplomasi di Doha, menunjukkan pendekatan ganda Israel: tekanan militer di lapangan dan negosiasi di meja perundingan.
Bagaimana Dampaknya terhadap Situasi Kemanusiaan?
Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk akibat operasi ini. Menurut laporan BBC pada 16 Mei 2025, blokade Israel telah menyebabkan kelaparan massal, dengan banyak warga Gaza kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Seorang pejabat kemanusiaan PBB, yang dikutip Reuters pada 16 Mei 2025, menyatakan, “Situasi di Gaza telah melampaui batas kemanusiaan; ini adalah bencana yang diciptakan manusia.”
Analisis Kritis dan Validasi Informasi
Tweet dari @ME_Observer_ dapat dianggap cukup kredibel karena mengutip Channel 12, sebuah stasiun berita utama Israel yang sering menjadi sumber resmi pemerintah.
Informasi tentang kehadiran tim negosiasi di Doha juga selaras dengan laporan media internasional seperti Reuters dan BBC, yang telah meliput mediasi di Qatar sejak awal 2025. Namun, tanpa pernyataan resmi dari IDF atau pemerintah Israel, detail operasi ini masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
Analisis kritis menunjukkan bahwa operasi ini berisiko memperburuk Krisis Kemanusiaan di Gaza, terutama jika eskalasi berlanjut dalam 48 jam ke depan.
Di sisi lain, negosiasi di Doha menjadi harapan terakhir untuk mencegah perang yang lebih luas, meskipun sejarah panjang kegagalan mediasi sebelumnya—seperti yang dilaporkan Reuters pada Januari 2025—menunjukkan tantangan besar dalam mencapai kesepakatan.