NOBARTV NEWS Pada Kamis, 5 September 2024, Ronny Purwadi, Ahli Proses Konversi Biomassa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan potensi bioetanol sebagai salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Dalam sebuah diskusi media di fasilitas manufaktur Toyota di Karawang, Jawa Barat, Purwadi menjelaskan bagaimana bioetanol bisa berperan penting dalam strategi energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia.
Menurut Purwadi, gas rumah kaca merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. Untuk menjaga suhu bumi tetap stabil dan mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim, penting untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
“Supaya tidak menjadi panas, gas rumah kaca harus dibatasi. Maka dari itu, penggunaan bahan bakar fosil harus dikurangi. Untuk menjaga stabilitas kebutuhan bahan bakar, kita harus beralih ke energi baru yang siklusnya lebih cepat, yaitu EBT,” ujar Purwadi.
Dalam konteks ini, energi baru dan terbarukan (EBT) meliputi berbagai sumber energi yang ramah lingkungan, seperti energi surya, energi geotermal, dan energi nuklir. Namun, Purwadi menyoroti bahwa meskipun berbagai opsi EBT tersedia, sektor transportasi di Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya bensin.
“EBT itu banyak, tetapi penggunaan bahan bakar fosil paling banyak di sektor transportasi,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan sejumlah inisiatif untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, termasuk peningkatan penggunaan biodiesel. Biodiesel, yang umumnya berbasis minyak sawit, telah menjadi salah satu solusi dalam upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun, Purwadi menegaskan bahwa biodiesel hanya salah satu bagian dari solusi, terutama mengingat sebagian besar kebutuhan bahan bakar di Indonesia adalah bensin. Oleh karena itu, bioetanol, yang merupakan jenis biofuel yang dapat diproduksi dari bahan baku seperti gula dan pati, semakin relevan sebagai alternatif.
“EBT sudah banyak ada seperti geotermal, energi nuklir, dan energi surya. Lalu, kenapa harus biofuel? Karena kendaraan kita hampir seluruhnya menggunakan bensin. Kalau mau diganti dengan EV (kendaraan listrik), berarti kita harus mengganti semua mobil dengan yang baru,” ujar Purwadi.
Salah satu kelebihan bioetanol adalah kompatibilitasnya dengan kendaraan yang saat ini sudah ada. Artinya, bioetanol bisa digunakan tanpa perlu mengganti kendaraan yang ada. Selain itu, bioetanol juga dapat memanfaatkan limbah organik, yang berpotensi mendukung perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja baru di sektor pertanian dan pengolahan.
Dalam hal produksi, bioetanol menawarkan energi yang lebih tinggi dibandingkan bensin. Meskipun bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, termasuk jagung dan singkong, produksi bioetanol di Indonesia masih terbatas.
Hingga saat ini, bioetanol baru digunakan sebagai campuran E05 di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kebutuhan bensin nasional, yang mencapai 29 juta kiloliter per tahun, jauh melampaui kapasitas produksi bioetanol yang baru mencapai 34.500 kiloliter.
Perlunya percepatan dalam pengembangan bioetanol menjadi sangat jelas. Rencana pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan mencakup target-target ambisius yang memerlukan kontribusi signifikan dari bioetanol. Untuk memenuhi target tersebut, Indonesia perlu meningkatkan produksi bioetanol secara signifikan.
Purwadi juga menambahkan bahwa bioetanol dapat menjadi solusi yang lebih luas dan efektif dalam menghadapi tantangan energi dan perubahan iklim di Indonesia. Dengan pengembangan teknologi yang terus berlanjut, bioetanol dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi lingkungan dan ekonomi.
“Jadi kita memang harus membuat biofuel yang masih kompatibel dengan kendaraan kita yang ada sekarang ini. Upaya untuk menggantikan sebagian bensin ini, dengan bahan-bahan yang kompatibel salah satunya adalah bioetanol,” imbuh Purwadi.
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: