NOBARTV NEWS Maraknya fenomena “kotak kosong” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dinilai mencerminkan “kemunduran demokrasi”. Sebab, masyarakat dikondisikan untuk menghadapi pilihan yang “tidak ideal”. Hal ini dikemukakan oleh lembaga sipil pengawas pemilu dan pakar politik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ada 43 daerah dengan pasangan calon tunggal kepala daerah hingga Sabtu (31/08). Itu artinya, mereka berpeluang melawan kotak kosong. KPU pun memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah untuk 43 daerah ini pada 2-4 September 2024 untuk membuka peluang munculnya bakal calon pasangan baru.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan pilkada kali ini akan menjadi pemilihan dengan jumlah kotak kosong terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia, terlebih apabila tidak ada partai politik yang mengalihkan dukungannya pada masa perpanjangan itu.
Khoirunnisa Nur Agustyati menekankan bahwa kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal karena kemunculannya saat ini ini tak lepas dari tren “koalisi gemuk” di banyak daerah.
“Saya rasa ini kemunduran demokrasi karena kompetisinya dihilangkan. Yang seharusnya masyarakat bisa melihat adu gagasan, menjadi tidak ada. Ibarat kata mau menang secara cepat saja karena tren menunjukkan calon tunggal sering menang,” kata Khoirunnisa Nur Agustyati kepada BBC News Indonesia, Minggu (01/09).
“Jadi ya sudah, diborong saja dalam satu perahu besar. Dan ini bukan tiket kosong, pasti ada yang ditransaksikan (secara politik) dan itu akan kelihatan setelah kepala daerahnya terpilih,” sambung Khoirunnisa Nur Agustyati.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ali Sahab, mengatakan fenomena kotak kosong dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat. Sejauh ini, daerah yang berpeluang menjalani pemilihan gubernur dengan melawan kotak kosong adalah Papua Barat.
Fenomena kotak kosong lainnya terjadi pada level kabupaten/kota di 42 daerah. Di Provinsi Sumatra Utara, misalnya, ada enam daerah yang masuk kategori ini yakni Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara.
Di Jawa Timur, fenomena ini berpeluang terjadi di Kota Surabaya, Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Pasuruan. Pasangan calon tunggal di lima daerah di Jawa Timur tersebut didukung oleh delapan hingga 18 partai politik yang tergabung dalam “koalisi gemuk”.
Apa itu ‘kotak kosong’?
Kotak kosong muncul ketika hanya ada satu pasangan calon kepala daerah yang maju dalam pemilu. Ini bukan berarti kotak suara yang kosong. Namun di dalam surat suara, pemilih dapat memilih opsi ini apabila tidak ingin memilih satu-satunya pasangan calon yang maju.
Menurut Khoirunnisa Nur Agustyati, kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi pilkada pada tahun 2015.
“Awalnya dari Mahkamah Konstitusi. Ada semacam kebuntuan, ada partai-partai yang mengusung satu pasangan calon saja, apa yang harus dilakukan? Sehingga pada waktu itu, dibawa ke MK,” jelas Khoirunnisa Nur Agustyati.
“MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi. Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong,” lanjut Khoirunnisa Nur Agustyati.
“Jadi di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih,” kata Khoirunnisa Nur Agustyati.
Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon pun dapat tetap mengikuti pilkada serentak. Sejak tahun 2015, Perludem menyatakan tren pilkada melawan kotak kosong terus meningkat.
Hanya ada tiga kotak kosong pada 2015. Namun jumlahnya meningkat menjadi sembilan kotak kosong pada 2017, 16 kotak kosong pada 2018, lalu 25 kotak kosong pada 2020.
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: