NOBARTV NEWS Backlog kepemilikan rumah setiap tahun terus bertambah. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (20/8/2024).
“Setiap tahun tingkat kebutuhan rumah pertumbuhannya 600.000-800.000 unit per tahun, yang bisa diberikan dan terealisasi baru sekitar 400.000-450.000 rumah per tahunnya. Setiap tahun ada akumulasi terhadap backlog, akan selalu ada peningkatan backlog,” ujar Joko Suranto.
Ada pun berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, backlog kepemilikan rumah Indonesia ada di angka 9,9 juta. Sementara program pembiayaan perumahan rakyat yang diandalkan saat ini adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Sayangnya pada tahun 2024 kuota FLPP terbilang kecil, yakni di angka 116.000 unit rumah subsidi saja. Padahal tahun 2023, angkanya bisa mencapai 229.000 unit rumah subsidi. Oleh karena itu, REI meminta adanya penambahan stok rumah subsidi pada tahun 2024, setidaknya mendekati capaian tahun lalu.
“Kami mohon yang pertama adalah untuk bisa mendapatkan support dari Komisi XI untuk pada saatnya mendorong Kementerian Keuangan merealisasikan anggaran menjadi 250.000 atau setidak-tidaknya menjadi 229.000,” lanjut Joko Suranto.
Joko Suranto juga meminta agar Komisi XI mendorong Kementerian Keuangan untuk bisa merealisasikan program FLPP tahun depan sejak bulan Januari.
“Karena selama ini kami harus menunggu sampai Februari, kadang-kadang awal Maret baru terealisasi. Ada overhead, biaya bunga, banyak biaya-biaya yang kita tanggung sementara kita belum bisa merealisasikan FLPP,” tuntas Joko Suranto.
Penyebab Banyak Ritel Tunda Buka Gerai Baru
Pengusaha mal mengungkapkan banyak peritel memutuskan untuk tidak membuka gerai baru. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja.
Alphonzus Widjaja menyebut, bahwa peritel sekelas Matahari dan Hypermart menargetkan ekspansi gerai baru tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, Matahari setiap tahun menargetkan membuka 10-15 gerai, namun tahun ini hanya berencana membuka 4 gerai saja.
“Menurut saya, pengelola pusat belanja kekurangan peritel. Jadi, peritel baru yang mau mengisi pusat belanja semakin banyak yang menahan diri untuk membuka usaha baru. Contoh, Matahari Dept Store biasanya setiap tahun punya target 10-15 toko baru, tahun ini hanya menargetkan 4, bahkan menutup 10 toko. Hypermart juga sama, tahun ini relatif tidak membuka toko baru. Dari brand lain semua menahan diri,” kata Alphonzus Widjaja di Pantai Indah Kapuk (PIK) Avenue, Jakarta Utara, Kamis (8/8/2024).
Padahal, pengembang siap membangun mal baru. Namun, yang menjadi masalah utama adalah banyak peritel yang menahan diri untuk membuka gerai baru.
“Kalau pusat belanja sendiri banyak developer sudah siap yang mau membangun mal baru tapi memang yang mau mengisi toko-tokonya itu terbatas karena banyak peritel yang menahan diri,” jelas Alphonzus Widjaja.
Alphonzus Widjaja menjelaskan fenomena tersebut terjadi lantaran impor ilegal yang masih membanjiri pasar dalam negeri. Serbuan impor ilegal tersebut membuat ritel di bidang fashion sangat terdampak, apalagi daya beli masyarakat juga sedang menurun.
Menurut Alphonzus Widjaja, daya beli masyarakat yang sedang menurun ini juga membuat impor ilegal makin marak. Pasalnya, harga produk yang dijual lebih murah dibandingkan di ritel.
“Salah satunya karena impor ilegal. Memang terdampak itu pasti busana, fashion itu karena uang yang dipegang masyarakat menengah ke bawah ini sedikit. Makanya kenapa impor ilegal begitu marak, harga satuannya kan murah. Beli di Tanah Abang Rp 100.000 dapat 3 itu kan kelas menengah bawah itu akhirnya ke sana,” imbuh Alphonzus Widjaja.
Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya tengah membuat strategi agar produk di ritel dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah. Dia meminta kepada pemerintah jangan menciptakan regulasi yang berdampak pada iklim usaha.
Alphonzus Widjaja juga berharap pemerintah dapat memberikan bantuan sosial (bansos) tunai. Alhasil, masyarakat dapat mengalokasikan sesuai kebutuhan sehingga dapat berdampak pada daya beli masyarakat.
“Jangan menciptakan regulasi yang bisa berdampak pada penurunan daya beli masyarakat lebih dalam. Pemerintah sekarang masih melakukan bantuan sosial, tapi saya kira lebih baik dalam bentuk tunai. Kalau tunai itu jauh lebih berdampak secara langsung terhadap daya beli,” jelas Alphonzus Widjaja.
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: