NOBARTV NEWS Benarkah Poligami Sunnah Nabi? – Saat kita ditanya soal apa itu sunnah pasti kita akan menjawab, sunnah adalah suatu perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Pengetahuan dasar tersebut, menjadi basis pemahaman kita bahwa sesuatu perbuatan apabila dikatakan sebagai sunnah tentu memiliki nilai baik, dan terhormat, paling tidak condong ke arah kebaikan atau berpahala.
Kita sering kali menemukan pernyataan bahwa hukum poligami itu sunnah. Sehingga mendengar pernyataan tersebut kita beranggapan bahwa poligami itu baik, positif, bahkan berpahala. Semakin lantang seseorang menyuarakan dan melakukan poligami dianggap paling tinggi posisi keagamaannya.
Semakin bersabar seorang istri karena dimadu dinilai semakin tinggi kualitas imannya. Bahkan, kaum ibu dinina bobokan oleh kata-kata; “Wanita yang rela dimadu adalah calon penghuni surga.” Bukan hanya itu, banyak sekali sinyalemen dari para penceramah, dari seorang ustadz pemangku pondok pesantren belum kiyai betulan katanya jikalau belum berpoligami.
Ayat Al-Qur’an yang menyebutkan perihal poligami yaitu surat An-Nisa ayat 3 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa ayat 3).
Jika kita lihat teks ayat Al-Qur’an surat An-Nisa di atas, dari susunan kalimatnya berbentuk perintah (amar) yakni (فَانْكِحُوا) yang berarti “Maka nikahilah.” Akan tetapi dari konteksnya ayat tersebut sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat tersebut meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang badar dan perang uhud.
Oleh karena itu, beberapa ulama kontemporer terkemuka Al-Azhar Mesir, seperti Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Rasyid Ridha, dan Syaikh Muhammad Al-Madan, ketiganya lebih memilih memperketat. Bahkan, Syaikh Muhammad Abduh menyatakan poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman.
Tetapi anehnya, di kalangan pro poligami ayat tersebut dipelintir menjadi “hak penuh” laki-laki untuk berpoligami. Mereka berdalih bahwa perbuatan itu untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami dijadikan sebagai tolak ukur keislaman seseorang, semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik posisi keagamaannya.
Berdasarkan definisi fikih, sunnah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan, di mana umumnya mengacu kepada perkataan, dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, amalan poligami yang dinisbatkan kepada Nabi ini jelas sangat distorsif atau bentuk penyimpangan. Jika memang poligami dianggap sunnah, mengapa Nabi tidak melakukannya waktu pertama kali berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid.
Konsekuensi orang yang mengatakan bahwa poligami itu sunnah atau pernah dilakukan Nabi adalah pertama ia harus poligami karena Allah SWT (perintah Allah), bukan semata-mata karena nafsunya (sekali lagi jika yang menjadi landasannya sunnah, walau pun sebetulnya karena nafsu juga tidak dilarang menurut hukum syara’ selama mampu berbuat adil).
Kedua, yang dinikahi adalah janda-janda tua yang tidak bisa menafkahi dirinya sendiri. Dan yang keempat adalah karena kepentingan dakwah.
Artinya, selama poligami bukan karena seperti alasan-alasan di atas jangan katakan bahwa itu sunnah Nabi. Katakan boleh saja. Oleh karena itu, kenapa di beberapa kitab fikih dalam kasus poligami dijelaskan dengan redaksi “Yajuzu” (diperbolehkan) bukan “Yusannu” (disunnahkan).
Bahkan penulis ingin mengatakan monogami itu lebih sunnah ketimbang poligami. Standar penulis mengatakan hal ini yaitu, Selama Nabi menikah dengan Khadijah, tidak sekalipun Nabi melakukan poligami. Itu artinya, selain poligami yang selama ini digaungkan sebagai “sunnah” ternyata ada monogami yang juga sunah.
Selama 25 tahun Nabi menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Nabi tidak sekalipun melakukan poligami. Nabi baru melakukan poligami setelah wafatnya Khadijah, ketika Menikahi Siti Aisyah selama 13 tahun itupun atas perintah Allah SWT.
Jika kita menghitung lama antara monogami dan poligami yang dilakukan Nabi, tentu lebih lama monogami dibandingkan poligami. Artinya, dari kalkulasi ini sebetulnya tidak beralasan menyatakan bahwa poligami itu sunnah.
Definisi poligami itu sunnah menurut Imam Syafi’i adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Nabi sedang mengejawantahkan surat An-Nisa ayat 2 dan 3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim.
Baca Juga Tes DNA Apa Bisa Menentukan Nasab? Begini Penjelasan Buya Yahya
Belum mendapatkan informasi yang anda cari? silahkan ketik disini: